Beberapa waktu yang lalu, saya membaca buku dari Nasim Talem berjudul Anti Fragile yang bercerita tentang gimana caranya organisasi gak cuma tahan banting, tapi lebih dari itu, jadi malah lebih kuat ketika ada ombak. Anti Fragile ini mirip dengan manusia Saiya di komik Dragon Ball. Tiap berantem, orang Saiya gak cuma tahan banting dan susah dikalahkan, tapi mereka bakal jadi signifikan lebih kuat pas sudah sembuh.
Salah satu konsep yang saya suka banget di buku ini adalah sebuah konsep yang namanya "Via Negativa", yang artinya menambah dengan mengurangi. Argumen dari si Taleb adalah solusi dari kebanyakan masalah dalam kehidupan adalah dengan mengurangi sesuatu, bukan nambahin sesuatu. Ini bisa jadi dalam bentuk tangible ataupun intangible.
Bisa dengan mengurangi jumlah keputusan yang perlu kamu ambil setiap hari, mengurangi komitmen kamu, mengurangi benda yang ada di sekitar kamu, dan membuat hidup jadi lebih kecil lagi.
Setelah apa yang ada di sekitar kamu jadi lebih kecil, lebih compact, kamu bisa berjalan 100 langkah ke satu tujuan, instead of berjalan selangkah ke 100 tujuan.
“Duduk Mas. Ini diminum dulu.” Dan saya pun melirik ke arah gelas jeruk yang disajikan minus disinfektan di depan saya. Sedotannya polos gak dibungkus apa-apa. Coy.
“Ini estimasi kalau ikut gambar arsitek njenengan Mas, terus satunya lagi versi yang lebih hemat ala Pak Ba***.” seloroh si bapak yang saya baru kenal 2 menit yang lalu sambil menyodorkan dua bundel kertas.
Uh oke. Kertasnya udah dipegang berapa orang nih. Tadi kenapa lepas masker!? Sekarang kalau dipasang bakal aneh kan.
Selesai ngobrol ngalor ngidul, kami berpisah, dan sebelum ngacir, si bapak ngajak salaman. Semacam kerbau yang dicucuk hidungny, tangan kanan saya spontan membalas.
Sambil jalan ke parkiran mobil, saya tertegun. What did I do? Ngapain gak pake masker? Ngapain pake minum segala? Kok nurut kayak kambing pas diajak salaman? Kamu bukannya udah tau drillnya ya? Masker, hand sanitizer. Di rumah ada orang tua dan anak kecil lho.
Fuck... Ini rasanya jadi Gerrard yang dapet kartu merah waktu lawan MU. Blunder keras.
Kemudian, kemudian saya tiba-tiba ingat satu hal yang lebih bikin miris lagi.
Sejam yang lalu, sebelum eksistential krisis di pinggir jalan ini. Saya sempet ketemu sama temen baik saya di cafe deket Tugu. Bukan warmindo emang. Tempatnya fancy dan kopinya 80ribuan. Ada hand sanitizer electric segala dan sedotannya dibungkus pake kertas. Saya sama si sobat ini chit-chat selama sejam dan habis ngobrol salaman hangat, kemudian jalan ke parkiran sambil nenteng bingkisan hadiah.
Itu pertama kalinya ketemu temen dalam 6 bulan terakhir. And while all is well, yang bikin goib, otak saya gagal ngasih alarm! Sama-sama salaman. Sama-sama gak pake masker. Sama-sama nyeruput minuman. Tapi kali ini gak ada perasaan menyesal. Atau bersalah, kayak yang saya alami pas ketemu dengan Pak Bad** barusan.
What the heck is going on?
Mungkin ini yang bikin virus ini mustahil dihentikan kali ya. Bukan karena kita gak merasa cukup berbahaya. Tapi karena kita punya bias terutama dengan orang-orang terdekat kita. Tameng kita gak cukup tegak waktu ketemu orang-orang yang familiar ini. Kita gak cukup waspada. Dan karena ini brain chemistry, naturally lebih susah buat kita untuk berhenti melakukan hal bodoh kayak lepas masker.
Solusinya? Saya gak tahu. Yang jelas ini jadi pengingat buat saya. Lain kali. Kalau ketemu siapapun. Pake masker. Terutama teman.
Holly Fuck! This is a monkey brain.
Itu yang di kepala saya waktu pertama kali ngelihat rekaman time lapse saya sedang bekerja. Ngenes. Cringeworthy. Apa yang saya bayangkan tentang bagaimana saya beroperasi pas kerja ternyata beda jauh dengan kenyataan. Setiap kali tingkat kesulitan bertambah, otak saya akan langsung procrastinate, dan banting setir melakukan hal lain. Skill fokus masih jauh dari standar ideal.
Saya percaya kalau gagal fokus itu bukan karena cela pada karakter dan gen kita. Gagal fokus itu karena kita punya issue dalam meregulasi kondosi emosional kita. Setiap kali things getting hard. Kita escape. Ada yang escape dengan Facebook, ada yang belanja, lihata tutorial youtube, instagram, merokok, dan lain-lain. Semua orang punya candu andalannya sendiri. Hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk getting better untuk embrace discomfort (hard thing is where the gold usually present) adalah mengenal diri kita sendiri dulu.
Kenal diri sendiri. Kemudian develop skill buat dealing with emosional discomfort sembari mendesain tempat kerja supaya aman dari gagal focus. Tanpa skill buat embrace discomfort, apapun hack, tools, barang yang kita beli buat improve productivity saya yakin gak bakal berguna.
So start with knowing your own self at work. Then start to plan to develop resilient. Hustl is a good start to do it :).
Game greatest moment
3 hal yang perlu dipelajari sama semua knowledge worker.
Currency paling penting knowledge worker itu adalah... knowledge (duh). Jadi punya sistem yang efektif buat nangkap informasi dan memaketnya jadi sesuatu yang bisa kamu pakai lagi di masa depan itu mega penting.
Nah. Buat kamu yang penasaran harus mulai dari mana. Tiago Forte punya course excellent yang namanya Building a Second Brain. Kamu gak harus ngikutin coursenya yang mahalnya minta ampun. Coba ikutin beberapa interview dan youtubenya, and you should be good to move forward.
Never attribute to stupidity that which is adequately explained by opportunity cost. Ini artinya semua hal mediocre atau low quality yang bikin kamu gemes di tempat kerja (software ngebug, email gak dibales, update gak akurat), biasanya bermuara dari orang yang ngerjain itu (yes that including you), gak punya cukup waktu buat ngerjain dengan proper.
Mereka memilih mengerjakan hal lain, daripada mencoba spend more time to make sure that thing working. Nah apakah keputusan mereka atau kamu buat working on that thing. Apakah worth it atau nggak, itu urusan yang lain lagi. It's super important buat punya good decision making framework, mana yang harus kamu kerjakan dan mana yang harus kamu skip.
Ada banyak teknik buat menentukan prioritas, but menurut saya, frameworknya Gary Keller yang bernama "The One Thing" is a good way to start.
Yip. Belajar gimana caranya bisa belajar dengan oke itu model yang berharga banget untuk semua knowledge worker. Kemampuan kamu untuk bisa terus berkembang akan jadi competitive kamu. Dan punya sistem yang proper in place, bakal bisa allow kamu buat growing infinitely in the future.
Caranya gimana?
Do daily review dan weekly review. Have a set of prompt of good questions yang bakal bisa kamu pakai regularly buat selalu bisa course correction. it just works.
I always fascinated with the past. If I have to choose between, two machine. One that would enable to transport me to the future, and another one that will bring me to the past, I will chose the past one.
I want to know what it looks like in ancient Egypt 1000 BC or what happened in the nearby Boko temple. It really intriguing for me.
In one way, I don't think it's the right choice. Knowing the outcome of the future will enable me to get much more advantage. I'm working in tech industry as well, which means innovation is primary. The better you understand about the future, the better you will be equipped to make a good choice for your future.
It's just doesn't do anything useful at all. To know more about the past.
I wonder why I'm going to be afraid to choose the future.
Is it because I would think that there will be appocalypse in the future and earth would looks like this barren field of dessert with red or orange sky and the air filled with death?
Is it because I'm afraid that future might look like shit and
Or is it because it's more coming into the right intention. That future is holy, and I prefer it to be in the dark since knowing what it would look like will make life less interesting and challenging?
I'm not sure.
What I know is that I will be really-really happy like a dead pig in the sunshine dancing. It will be amazing to know how people used to interract, talking and working in that ages.
Having said that I think I should put more awareness in to the present. Waking up is the greatest gigt that I ccan teach
Sejak tahun lalu saya mulai puasa intermittent sejak baca bukunya [[Jason Fung ]] yang berjudul [[Obesity Code]]. Di buku ini, dia mencoba untuk mendekonstruksi gimana obesitas terbentuk, mulai dari perorangan, maupun dari sudut pandang sejarah, dan ngasih beberapa saran buat bisa mengurangi obesitas.
Salah satu hal yang dianjurkan sama Jason, adalah melakukan puasa, baik yang full maupun intermittent.
Sejak itu saya mulai melakukan beberapa eksperimen puasa, dari yang 24 jam, 36 jam, sampai 42 jam.
Di puasa modelnya Jason, beda dengan puasa bulan Ramadhan, saya masih boleh minum air putih, karena tujuan dari puasanya adalah menghentikan asupan gula secara total, supaya tubuh bisa masuk ke fase ketosis. Fase ketosis ini artinya tubuh bakal stop pake gula untuk melakukan aktivitas, dan mulai membakar lemak.
Biasanya puasanya bakal saya mulai kick in dari jam 7 an, pas setelah saya selesai makan malam, dan baru mulai makan lagi sekitar 36 jam setelah selesai. Selama puasa, saya boleh makan apapun, asal dalam makanan itu gak ada kandungan glukosanya sama sekali – yang itu artinya hampir 99,99% makanan atau minuman yang ada di dunia.
Jadi cuma air putih, kopi (thanks god), dan mungkin sedikit suplemen magnesium yang dibutuhkan sama tubuh, yang boleh masuk. Yang lain gak bisa.
Mungkin kedengaran brutal buat yang belum nyobain, but suer, ini gak sesulit kedengarannya. Semua orang yang lagi sehat bisa melakukan ini sih – kecuali yang butuh treatment khusus.
Biasanya bagian yang paling brutal itu mulai dari jam 12 (sejak mulai puasa) sampai jam 16. Itu adalah waktu di mana tubuh meraung-raung, minta diisi glukosa, dan saya jadi super cranky waktu jam-jam segitu.
Habis jam-jam rawan itu dilewati, yang berikut-berikutnya bakal jadi gampang sih, dan saya bisa dengan sangat santuy gak begitu lapar lagi. Mungkin tubuh jadi bakal agak shaky dikit, dan gampang kesemutan, but the rest is fine.
Nah, model puasa kayak gini biasanya bakal brutal banget dalam menghajar lemak. Biasanya saya bisa lost 500gram sampe 1kg dalam sehari (agak susah menghitung berapa kg berat tubuh yang hilang, soalnya kandungan air dalam tubuh fluktuatif banget, kalau habis lari atau menghilangkan isi perut, biasanya bakal kelihatan signifikan).